Rabu, 20 Maret 2013

Sejarah Nusantara

 
Sejarah seharusnya bisa bersikap jujur mengabarkan segala sesuatu yang terjadi. Bukan mengabarkan apa yang diinginkan oleh penguasa atau kaum yang memiliki kekuatan untuk diketahui dunia luas. Hitam katakan hitam dan putih katakan putih. Kejujuran inilah yang amat langka, tidak saja dalam penulisan sejarah negeri kita tercinta Indonesia, namun juga dalam penulisan sejarah dunia. Sebab itu di kalangan akademisi muncul berbagai macam sindiran terhadap sejarah itu sendiri. Ada yang menyebutkan jika Alexander Agung merebut ribuan kapal musuh maka itu disebut pahlawan, namun jika seorang nelayan merebut satu perahu kecil maka dunia pun mengutukinya sebagai perompak.
Jika ini dibawa ke dalam tataran nasional, maka siapa sesungguhnya Gajah Mada? Apakah dia seorang pahlawan yang "mempersatukan" Nusantara di bawah hegemoni Majapahit, walau dengan peperangan yang memakan banyak korban, ataukah dia seorang imperialis yang memaksa daerah-daerah di luar Majapahit untuk mau tunduk dan taat kepada pihaknya, hatta dengan jalan kekerasan dan peperangan?
Bagi orang Jawa, Gajah Mada mungkin seorang pahlawan. Tapi bagi orang-orang Sumatera, Borneo, Celebes, dan sebagainya, Gajah Mada tidak ubahnya seorang tiran-perampok, yang mengakhiri kemerdekaan mereka, mengakhiri kedaulatan mereka, dan menggantinya dengan penjajahan Majapahit atas wilayah mereka atau masihkah kita ingat pada cerita rakyat tentang Hang Tuah dan Hang Jebat? Sejak kecil kita diberikan dongeng bahwa Hang Tuah adalah pahlawan, sedang Hang Jebat adalah si pendurhaka. Padahal dalam kacamata obyektif kebenaran, Hang Tuah adalah personifikasi kepatuhan dan ketaatan tanpa batas, taklid buta, terhadap apa pun yang dikatakan oleh penguasa dan kekuasaan. Sedang Hang Jebat adalah contoh dari kesetiaan seseorang pada hati nuraninya.
Kebenaran adalah kebenaran, walau pahit rasanya. Namun banyak penguasa di berbagai negeri, termasuk penguasa Indonesia, menganggap jika kebenaran hanyalah sesuatu yang tidak berbenturan dengan kepentingan dan kedudukan istimewa mereka. Para penguasa seperti ini sering bersikap seperti yang dikatakan penyair Candide, "Cela est bien dit, mais ilfaut cultiver notre jardin". Itu memang benar, tetapi kita harus merawat kebun kita sendiri. Atau dalam bahasa Jawa, "Ngono yo ngono, ningyo ojo Ngono... "
Sebab itulah, sejarawan Inggris Thomas Carlyle (4 Desember 1795 — 5 Februari 1881) dengan satir dalam bukunya berjudul "On Heroes and Hero-Worship" mengatakan, "The History of the world is but the biography or great men." Sejarah dunia itu hanyalah biografi penguasa.
Carlyle pula yang walau dia seorang Kristen taat, mencela stigma Barat terhadap Muhammad SAW dan meminta Barat agar obyektif melihat sosok kepahlawanan manusia besar ini. Dalam buku yang sama dia menulis, "Anggapan kita (Barat) yang lazim tentang Muhammad adalah bahwa ia seorang penipu, penjelmaan kepalsuan, bahwa agamanya penuh kebodohan ... Tuduhan-tuduhan bohong yang ditimpakan kepada orang ini sesungguhnya hanya mencemarkan diri kita sendiri (Dunia Barat) ylmboi, mengapa Anda keberatan, jika kaum Muslimin menyebutnya sebagai Nabi? Dia tegap berdiri disana berhadapan muka dengan mereka (kaum Muslimin Arab), terang-terangan dan tidak diselubungi apapun. Mereka itu melihat bagaimana ia menambal jubahnya, memperbaiki sepatunya, berperang, memberikan petunjuk, memerintah kepada mereka. Mereka tentu tahu kualitas laki-laki macam apa dia. Saya katakan, orang besar ini selalu seperti halilintar dari langit. Manusia lainnya menanti dia sebagai bahan bakar kemudian mereka pun akan menyala-nyala . Kita (Dunia Barat) harus meninggalkan tuduhan bahwa dia penipu."
Namun memang pada kenyataanya, moralitas sejak zaman para nabi, memiliki dua aspek yang berbeda. Di satu pihak, ia sejak dulu merupakan suatu lembaga sosial yang analog dengan hukum. Di lain pihak, ia sejak dulu merupakan urusan hati nurani individu. Dalam aspeknya yang pertama, ia merupakan bagian dari aparat kekuasaan. Sedang aspeknya yang kedua, ia sering revolusioner.
Sekarang, coba kita tengok museum-museum kita, kita buka lembaran-lembaran buku-buku teks sekolah anak-anak kita, adakah sejarah negeri ini telah bertindak adil dalam menceritakan umat Islam dalam perjalanan panjang Nusantara hingga ia bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Era reformasi memang memang masih muda. Namun ia selalu pikun, selalu lupa, untuk meluruskan dan memberi cahaya pada sejarah umat Islam Indonesia. Entah, pikun atau lupa ini disengaja atau tidak. Yang jelas, menjadi tanggungjawab kita semualah agar anak cucu kita bisa berpikir merdeka, kritis, dan bangga dengan sejarah nenek moyangnya, sejarah para ulama, sejarah para mujahidin pendiri negeri besar ini.
Mungkin tulisan Soe Hok Gie dalam catatan hariannya bisa kita renungkan bersama: "Don't think you can frighten me by telling me that I am alone. God is alone ...the loneliness of God is his strengthl" Jangan kira engkau bisa menakuti saya dengan mengatakan bahwa saya sendirian. Tuhan sendirian ... dan kesendirian Tuhan adalah kekuatannya! Wallahu'alam bishauab.
Kamis, 11 April 2002. Robert Dick-Readl, peneliti sejarah purba dari London tengah bekerja di depan komputernya. Sebuah surat elektronik masuk. Dari koleganya, Profesor Giorgio Buccellati, seorang arkeolog senior dari University of California-Los Angeles (UCLA), yang sejak tahun 1976 aktif memimpin satu tim ekspedisi arkeolog mengekplorasi wilayah sekitar Mesir.
Dalam suratnya, Buccellati mengaku kaget sekaligus kagum. "Saya menemukan sebuah porselen cekung yang diselimuti tanah bercampur pasir agak tebal. Setelah dibersihkan, ada fosil sisa-sisa tumbuhan mirip cengkeh di atasnya. Saya yakin itu cengkeh. Namun saya harus mengkonfirm temuan ini pada kolega saya, Dr. Kathleen Galvin, seorang ahli paleobotani (botani purba) yang pasti mengenal tumbuhan ini dengan baik."
Buccellati saat itu tengah melakukan penggalian di atas tanah bekas rumah seorang pedagang yang berasal dari masa 1.700 SM di Terqa, Eufrat Tengah. Galvin segera datang. Setengah tak percaya, Galvin memastikan bahwa itu memang fosil tumbuhan cengkeh.
Kedua pakar tersebut kaget dengan temuannya. Sebagai pakar, mereka mengetahui jika tumbuhan tersebut hanya bisa hidup di satu tempat di muka bumi, yakni di Kepulauan Maluku, sebuah pulau kecil di antara belasan ribu gugusan pulau yang disebut Nusantara. Temuan Buccellati yang tergabung dalam The International Institute for Mesopotamian Area Studies (IIMAS) tersebut mengindikasikan jika di masa sebelum masehi, para pedagang sekitar Maluku telah sampai di daratan Mesir.
Sebuah penemuan arkeologi di Nusantara setelah Buccellati mengimbangi penemuan cengkeh di Mesir. "Arkeolog berkebangsaan Inggris menemukan sisa-sisa biri-biri atau kambing di situs bekas pemukiman pada masa yang kurang lebih sama (1.50Q SM) di pulau yang lebih jauh, yaitu pulau Timor yang berjarak beberapa ratus mil di sebelah selatan Kepulauan Maluku.
Kedua temuan tersebut membuktikan kepada kita jika di masa sebelum masehi, di zaman para nabi-nabi, pelaut-pelaut Nusantara telah melanglang buana menyeberangi samudera dan menjalin hubungan dengan warga dunia lainnya. Bahkan Dick-Read meyakini jika sistem pelayaran, termasuk perahu-perahu, dari para pelaut Nusantara-lah yang menjadi acuan bagi sistem dan bentuk perahu banyak negeri-negeri lain di dunia. Keyakinan ini diamini oleh sejumlah arkeolog dan sejarawan senior seperti Dr. Roland Oliver.
Nusantara merupakan gugusan belasan ribu pulau yang terletak di loksi paling strategis di dunia dipandang dari sudut manapun. Inilah cikal bakal negara kesatuan Republik Indonesia. Nama "Indonesia" sendiri, yang berarti, "Pulau-pulau India" diberikan kepada kepulauan itu oleh seorang etnologjerman, dan telah dipakai sejak 1884. Awalnya, Indonesia adalah nama geografis untuk menyebut semua pulau antara Australia dan Asia, termasuk Tihpma.TrefaKaliTf menjadi nama resmi untuk republik mereka pada 1945 dan 1949.
Nusantara atau Indonesia merupakan sebuah bangsa besar dan pernah memimpin peradaban dunia. Bangsa ini pernah menjadi pemimpin bagi dunia dagang dunia, di mana para pedagang Cina misalnya sangat tergantung pada pelaut-pelaut Nusantara. Bahkan sebuah literatur klasik Yunani berjudul Peripkus tes Erytbras Thalasses (70 M), yang terbit sebelum Rasululah SAW lahir, telah menulis suatu daerah bernama Chryse, sebuah nama Yunani untuk "Pulau Emas" atau dalam bahasa Sanskrit bernama "Swarna Dwipa". Ini adalah nama lain bagi Pulau Sumatera.
Ptolomeus, seorang ahli navigasi Iskandariyah, juga pernah menyebut nama tersebut dengan istilah Chrysae Chersonesos yang mengacu pada semenanjung Barus3, sebuah kampung kuno penghasil kapur barus yang diekspor ke Mesir sejak zaman Firaun, yang terletak di bagian barat Sumatera Utara.
Bahkan secara penuh kontroversial, nama Nusantara atau Indonesia ikut nimbrung sebagai salah satu kandidat lokasi tempat Benua Adantis yang hilang, selain tentu saja nama-nama lokasi seperti Pulau Kreta di Yunani, Andalusia, Santorini, Tanjung Spartel, Siprus, Malta, Ponza, Sardinia, Troy, Tantali, Antartika, Kepulauan Azores, Karibia, Bolivia, Meksiko, Laut Hitam, Kepulauan Britania, India, Srilanka, Irlandia, Kuba, Finlandia, Laut Utara, Laut Azov, dan Esttemadura. Adalah penelitian dari Aryso Santos, ilmuwan Brasil, yang selama 30 tahun meneliti tentang Atlantis menyimpulkan jika Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Santos menulis buku "Atlantis, The host Continent Finally Found, The Definitifve Localisation of Plato's Lost Civilisation" (2005), yang menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indo­nesia4.
Dalam perjalanannya, Nusantara atau Indonesia, merupakan satu-satunya koloni Eropa yang dicakup dalam rencana dasar Marshall Plan buatan AS dalam melawan hegemoni Komunisme Soviet. Hal ini memperkuat genggaman Barat (Belanda-AS) atas Indonesia (Hindia Belanda) 5.
Sejarah dunia telah mengabarkan kepada kita semua bahwa Nusantara atau Indo­nesia, sebuah negeri Muslim terbesar dunia, memiliki masa lalu yang sangat gemilang. Akankah kegemilangan itu telah berakhir atau akan bangkit kembali? Wallahu'alam bishawab.

1.Robert Dick-Read merupakan arkeolog dan peneliti sejarah purba yang menulis buku "The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times", diterbitkan di Inggris, 2005. Oleh Mizan diterjemahkan menjadi "Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika" (Juni 2008).
2.Bernard H.M. Vlekke; Nusantara, Sejarah Indonesia; KPG, Jakarta 2008; hal.6.
3.ES Ito; Negara Kelima; Serambi llmu Semesta, 2005; hal. 142.
4.Bagi yang ingin lebihjauh menelusuri keyakinan Santos, silakan klik di 
www.atlan.org. Salah satu buku pegangan tertua soal Atlantis bisa dilihat dalam buku "Timaeus and Critias" Plato. Novel sejarah yang memikat tentang Atlantis juga ditulis oleh ES Ito dalam 'Negara Kelima' (2005).
5.Frances Gouda & Thijs Brocades Zaalberg; Indonesia Merdeka Karena Amerika?, Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia 1920-1949; Serambi, Agustus 2008; hal.41.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah Komentar di Artikal ini sobat !!!!!!!