Bagaimana Cara Berbisnis Nabi Muhammad SAW ? (1/2)
Menurut etika bisnis Islam, setiap pelaku bisnis (pengusaha) dalam berdagang atau menjalankan usahanya, hendaknya tidak semata-mata bertujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Akan tetapi, yang paling penting adalah mencari keridhoan dan mencapai keberkahan atas rezeki yang diberikan Allah SWT.
1. Kejujuran
Dalam hal ini, pedagang atau pengusaha tidak diperbolehkan menyembunyikan kecacataan barang. Jika hal tersebut disembunyikan, keberkahan jual beli akan hilang. Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda, "Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu barang yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya" (HR Al-Quzwani).
Dalam hadist lain pun bersabda, "Siapa yang menipu kami, dia bukan kelompok kami" (HR Muslim). Rasulullah selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di bagian bawah dan barang baru di atas. Selanjutnya, Ibnu Umar menurut riwayat Bukhori, memberitakan bahwa seorang lelaki menceritakan kepada Nabi SAW bahwa ia tertipu dalam jual beli. Kemudian Nabi SAW bersabda, "Apabila engkau berjual beli, katakanlah, ‘tidak ada tipuan’."
2. Pencatatan utang piutang
Dalam dunia bisnis lazim terjadi pinjam-meminjam. Dalam hubungan tersebut, Alqur’an mengajarkan pencatatan utang piutang yang berguna untuk mengingatkan salah satu pihak yang mungkin suatu waktu lupa atau khilaf : "Hai orang-orang yang beriman, kalau kalian berutang-piutang dengan janji yang ditetapkan waktunya, hendaklah kalian tuliskan. Dan seorang penulis di antara kalian, hendaklah menuliskannya dengan jujur. Janganlah penulis itu enggan menuliskannya, sebagaimana telah diajarkan oleh Allah kepadanya." (QS al-Baqarah [2] : 282)
3. Signifikansi sosial kegiatan bisnis
Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnisnya. Dengan tegas dapat dikatakan bahwa berbisnis bukanlah mencari keuntungan material semata, tetapi juga -harus didasari atas kesadaran- memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
4. Tidak melakukan sumpah palsu
ada kebiasaan pedagang untuk meyakinkan pembelinya dengan jalan bersumpah agar dagangannya laris. Nabi Muhammad SAW sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnisnya. Dalam sebuah hadist riwayat Bukhori, ia bersabda, "Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah." Dalam hadist riwayat Abu Zar, Rasulullah SAW mengancam orang yang bersumpah palsu dalam bisnis dengan azab yang pedih, dan Allah tidak akan memedulikannya di hari kiamat nanti (HR Muslim).
5. Sikap longgar, ramah-tamah, dan murah hati
seorang pelaku bisnis harus bersifat longgar, ramah dan murah hati dalam melakukan bisnisnya. Hal itu selaras dengan sabda Rasulullah, "Allah mengasihi orang yang bermurah hati saat menjual, membeli, dan menagih utang" (HR Bukhari). Kemudian dalam hadits lain, Abu Hurairah memberitakan bahwa Rasulullah bersabda, "Ada seorang pedagang yang memiutangi orang banyak. Apabila dilihatnya orang yang ditagih itu dalam kesempitan, dia diperintahkan kepada pembantu-pembantunya, ‘Berilah kelonggaran kepadanya, mudah-mudahan Allah memberikan kelapangan kepada kita’. Maka Allah pun memberikan kelapangan kepadanya." Selain itu, Nabi Muhammad SAW pun mengatakan, "Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis" (HR Bukhari dan Tarmizi).
6. Tidak menjelekkan bisnis orang lain
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Janganlah seseorang diantara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain" (HR Muttafaq ‘alaih).
7. Jujur dalam takaran dan timbangan
Allah berfirman dalam surah al-Muthafifin (83) ayat 1-3, yang artinya sebagai berikut :
"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi."
Menurut etika bisnis Islam, setiap pelaku bisnis (pengusaha) dalam berdagang atau menjalankan usahanya, hendaknya tidak semata-mata bertujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Akan tetapi, yang paling penting adalah mencari keridhoan dan mencapai keberkahan atas rezeki yang diberikan Allah SWT.
1. Kejujuran
Dalam hal ini, pedagang atau pengusaha tidak diperbolehkan menyembunyikan kecacataan barang. Jika hal tersebut disembunyikan, keberkahan jual beli akan hilang. Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda, "Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu barang yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya" (HR Al-Quzwani).
Dalam hadist lain pun bersabda, "Siapa yang menipu kami, dia bukan kelompok kami" (HR Muslim). Rasulullah selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di bagian bawah dan barang baru di atas. Selanjutnya, Ibnu Umar menurut riwayat Bukhori, memberitakan bahwa seorang lelaki menceritakan kepada Nabi SAW bahwa ia tertipu dalam jual beli. Kemudian Nabi SAW bersabda, "Apabila engkau berjual beli, katakanlah, ‘tidak ada tipuan’."
2. Pencatatan utang piutang
Dalam dunia bisnis lazim terjadi pinjam-meminjam. Dalam hubungan tersebut, Alqur’an mengajarkan pencatatan utang piutang yang berguna untuk mengingatkan salah satu pihak yang mungkin suatu waktu lupa atau khilaf : "Hai orang-orang yang beriman, kalau kalian berutang-piutang dengan janji yang ditetapkan waktunya, hendaklah kalian tuliskan. Dan seorang penulis di antara kalian, hendaklah menuliskannya dengan jujur. Janganlah penulis itu enggan menuliskannya, sebagaimana telah diajarkan oleh Allah kepadanya." (QS al-Baqarah [2] : 282)
3. Signifikansi sosial kegiatan bisnis
Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnisnya. Dengan tegas dapat dikatakan bahwa berbisnis bukanlah mencari keuntungan material semata, tetapi juga -harus didasari atas kesadaran- memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
4. Tidak melakukan sumpah palsu
ada kebiasaan pedagang untuk meyakinkan pembelinya dengan jalan bersumpah agar dagangannya laris. Nabi Muhammad SAW sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnisnya. Dalam sebuah hadist riwayat Bukhori, ia bersabda, "Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah." Dalam hadist riwayat Abu Zar, Rasulullah SAW mengancam orang yang bersumpah palsu dalam bisnis dengan azab yang pedih, dan Allah tidak akan memedulikannya di hari kiamat nanti (HR Muslim).
5. Sikap longgar, ramah-tamah, dan murah hati
seorang pelaku bisnis harus bersifat longgar, ramah dan murah hati dalam melakukan bisnisnya. Hal itu selaras dengan sabda Rasulullah, "Allah mengasihi orang yang bermurah hati saat menjual, membeli, dan menagih utang" (HR Bukhari). Kemudian dalam hadits lain, Abu Hurairah memberitakan bahwa Rasulullah bersabda, "Ada seorang pedagang yang memiutangi orang banyak. Apabila dilihatnya orang yang ditagih itu dalam kesempitan, dia diperintahkan kepada pembantu-pembantunya, ‘Berilah kelonggaran kepadanya, mudah-mudahan Allah memberikan kelapangan kepada kita’. Maka Allah pun memberikan kelapangan kepadanya." Selain itu, Nabi Muhammad SAW pun mengatakan, "Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis" (HR Bukhari dan Tarmizi).
6. Tidak menjelekkan bisnis orang lain
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Janganlah seseorang diantara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain" (HR Muttafaq ‘alaih).
7. Jujur dalam takaran dan timbangan
Allah berfirman dalam surah al-Muthafifin (83) ayat 1-3, yang artinya sebagai berikut :
"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah Komentar di Artikal ini sobat !!!!!!!