REPUBLIKA.CO.ID, Persoalan agama itu menjadikan Brent semakin kritis, yang menggiringnya pada berbagai pertanyaan besar tentang agamanya. Ia mempelajari berbagai agama lain. “Aku mencari tahu tentang beberapa agama, aku mempelajari paganisme, dan aku tertarik pada Islam.”
Di mata Brent kala itu, Islam adalah agama yang sempurna. “Aspek ekonomi, pemerintahan, semua diatur dengan baik dalam Islam. Aku kagum pada cara Muslim memperlakukanku, dan aku sangat kagum pada bagaimana Islam meninggikan derajat perempuan.”
Brent pun menyatakan keinginannya untuk masuk Islam pada seorang teman Muslimnya. “Sayang, ia memberitahuku bahwa aku tak bisa menjadi Muslim, hanya karena aku dilahirkan sebagai Kristen. Karena tak mengerti, aku menerima informasi itu sebagai kebenaran,” sesalnya.
Bagi pemuda kebanyakan di Australia, bisa jadi kehidupan Brent nyaris sempurna. Ia mahir memainkan alat musik, menjadi personel kelompok band, dan popular. Ia bisa berpesta sesering apapun bersama teman-teman yang mengelukannya. “Namun aku tidak bahagia dengan semua itu. Aku tak tahu mengapa.”
Namun terlepas dari kondisi tidak membahagiakan itu, Brent sangat mencintai musik. Ia mempelajari musik, memainkannya, mengajarkannya, dan menjadi bahagia dengannya. Hingga ia berfikiran bahwa musik adalah agamanya, karena mampu membuatnya bahagia.
Tanpa agama yang menenangkan hatinya, Brent seolah terhenti di sebuah sudut dengan banyak persimpangan. Perhentian itu membangunkannya di sebuah malam. “Aku berkeringat dan menangis. Aku sangat ketakutan sambil terus bergumam ‘Aku bisa mati kapanpun’,” tuturnya.
Dengan keringat dan air mata itu, Brent memanjatkan doa. “Aku meminta pada semua Tuhan; Tuhan umat Kristen, Tuhan umat Islam, Tuhan siapapun, karena aku tak yakin harus meminta pada salah satu diantaranya.”
“Tuhan, aku teramat sedih dan gundah dan tak tahu bagaimana menyelesaikannya. Tolong, beri aku isyarat, beri aku petunjuk, beri aku jalan keluar,” Brent mengutip doa yang diucapkannya 15 tahun lalu.
Isyarat Allah menghampiri Brent keesokan harinya. Seorang Muslimah asal Burma yang menjadi teman kampusnya mengiriminya sebuah email. Ia tahu Brent telah tertarik pada Islam sejak belajar di sekolah menengah, dan dalam emailnya itu ia bertanya apakah Brent masih tertarik pada Islam. Brent mengiyakan.
Beberapa hari kemudian, teman asal Burma itu datang ke rumah Brent dan membawakannya sejumlah buku tentang Islam. Membacanya, Brent tahu bahwa Islam tak melarang non Muslim sepertinya untuk memeluk agama itu. “Dari buku itu aku tahu bahwa banyak dari sahabat Nabi saw, termasuk Abu Bakar, adalah mualaf. Aku sangat senang dan berteriak dalam hati, ‘Ini yang kumau’.”
Selesai dengan bacaannya, Brent mendatangi seorang teman Muslim dan memintanya menjelaskan tentang jannah (surga). Dari penjelasan tentang surga itu, bertambahlah kekaguman Brent, juga kemantapannya pada Islam. Masjid Al-Fatih Coburg, Melbourne, menjadi saksi keislaman Bent Lee Graham.
Ia lalu mengganti namanya menjadi Isa Graham. “Aku ingin orang (non Muslim) tahu bahwa dalam Islam, kami juga mempercayai Yesus,” ujarnya. Bagi Isa, mencintai seseorang tidak seharusnya diwujudkan dengan menuhankannya, melainkan mengatakan segala sesuatu tentangnya apa adanya. “Kini aku ingin menunjukkannya pada Yesus, bukan sebagai seorang Kristen, namun sebagai Muslim,” tegas Brent menutup perbincangan.
Di mata Brent kala itu, Islam adalah agama yang sempurna. “Aspek ekonomi, pemerintahan, semua diatur dengan baik dalam Islam. Aku kagum pada cara Muslim memperlakukanku, dan aku sangat kagum pada bagaimana Islam meninggikan derajat perempuan.”
Brent pun menyatakan keinginannya untuk masuk Islam pada seorang teman Muslimnya. “Sayang, ia memberitahuku bahwa aku tak bisa menjadi Muslim, hanya karena aku dilahirkan sebagai Kristen. Karena tak mengerti, aku menerima informasi itu sebagai kebenaran,” sesalnya.
Bagi pemuda kebanyakan di Australia, bisa jadi kehidupan Brent nyaris sempurna. Ia mahir memainkan alat musik, menjadi personel kelompok band, dan popular. Ia bisa berpesta sesering apapun bersama teman-teman yang mengelukannya. “Namun aku tidak bahagia dengan semua itu. Aku tak tahu mengapa.”
Namun terlepas dari kondisi tidak membahagiakan itu, Brent sangat mencintai musik. Ia mempelajari musik, memainkannya, mengajarkannya, dan menjadi bahagia dengannya. Hingga ia berfikiran bahwa musik adalah agamanya, karena mampu membuatnya bahagia.
Tanpa agama yang menenangkan hatinya, Brent seolah terhenti di sebuah sudut dengan banyak persimpangan. Perhentian itu membangunkannya di sebuah malam. “Aku berkeringat dan menangis. Aku sangat ketakutan sambil terus bergumam ‘Aku bisa mati kapanpun’,” tuturnya.
Dengan keringat dan air mata itu, Brent memanjatkan doa. “Aku meminta pada semua Tuhan; Tuhan umat Kristen, Tuhan umat Islam, Tuhan siapapun, karena aku tak yakin harus meminta pada salah satu diantaranya.”
“Tuhan, aku teramat sedih dan gundah dan tak tahu bagaimana menyelesaikannya. Tolong, beri aku isyarat, beri aku petunjuk, beri aku jalan keluar,” Brent mengutip doa yang diucapkannya 15 tahun lalu.
Isyarat Allah menghampiri Brent keesokan harinya. Seorang Muslimah asal Burma yang menjadi teman kampusnya mengiriminya sebuah email. Ia tahu Brent telah tertarik pada Islam sejak belajar di sekolah menengah, dan dalam emailnya itu ia bertanya apakah Brent masih tertarik pada Islam. Brent mengiyakan.
Beberapa hari kemudian, teman asal Burma itu datang ke rumah Brent dan membawakannya sejumlah buku tentang Islam. Membacanya, Brent tahu bahwa Islam tak melarang non Muslim sepertinya untuk memeluk agama itu. “Dari buku itu aku tahu bahwa banyak dari sahabat Nabi saw, termasuk Abu Bakar, adalah mualaf. Aku sangat senang dan berteriak dalam hati, ‘Ini yang kumau’.”
Selesai dengan bacaannya, Brent mendatangi seorang teman Muslim dan memintanya menjelaskan tentang jannah (surga). Dari penjelasan tentang surga itu, bertambahlah kekaguman Brent, juga kemantapannya pada Islam. Masjid Al-Fatih Coburg, Melbourne, menjadi saksi keislaman Bent Lee Graham.
Ia lalu mengganti namanya menjadi Isa Graham. “Aku ingin orang (non Muslim) tahu bahwa dalam Islam, kami juga mempercayai Yesus,” ujarnya. Bagi Isa, mencintai seseorang tidak seharusnya diwujudkan dengan menuhankannya, melainkan mengatakan segala sesuatu tentangnya apa adanya. “Kini aku ingin menunjukkannya pada Yesus, bukan sebagai seorang Kristen, namun sebagai Muslim,” tegas Brent menutup perbincangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah Komentar di Artikal ini sobat !!!!!!!